Reorientasi Kebijakan Pendidikan dan Penyesuaian Struktural


Secara normatif, reorientasi kebijakan (pendidikan) telah diambil, terlihat pada tekad baru yang termuat pada dasar-dasar kebijakan pendidikan pasca krisis. UUD (amandemen) pasal 31, misalnya, menempatkan pendidikan sebagai hak warga negara sekaligus kewajiban bagi warga usia sekolah (wajib belajar) untuk mengikuti wajib belajar dan kewajiban bagi pemerintah untuk menyelenggarakannya. Undang-undang No.20/2003 pasal 6, 11 dan 34 mengulangi tekad baru tersebut. Kewajiban juga dituntut kepada orangtua untuk memberikan pendidikan dasar dan masyarakat untuk mendukung sumberdayanya (pasal 7 dan 9). Tekad yang sangat populer adalah bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari anggaran pemerintah (APBN/APBD) di luar gaji pendidik dan pendidikan kedinasan (UUD 45 pasal 31 (4) dan UU Sisdiknas pasal 49 (1)). Kata-kata yang mewajibkan keempat pihak serta besaran anggaran untuk mendukung kewajiban itu belum pernah terlihat pada paket kebijakan pendidikan sebelumnya. Tekad baru juga terlihat pada upaya untuk menempatkan kembali demokratisasi sebagai salah satu tujuan pendidikan. Selama lima belas tahun tujuan seperti itu hilang dari teks undang-undang, digantikan dengan menekankan tujuan agar peserta didik ’bertanggungjawab’ . Bagian yang menempatkan pentingnya penyelenggaraan pendidikan secara demokratis adalah munculnya di satu pihak hak masyarakat untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (pasal 8) dan di lain pihak hak pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaran pendidikan (pasal 9). Orientasi-orientasi dan tekad di atas menempatkan pendidikan sebagai ikhtiar penting bangsa dan mengandaikan perlunya reposisi peran masyarakat dan pemerintah dalam sistem dan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Kendati demikian, orientasi dan tekad baru yang indah itu harus berhadapan dan dengan demikian harus disesuaikan dengan ketiga tantangan yang telah disebutkan sebelumnya (yaitu makro ekonomi-demografi, sosial-politik terutama desentralisasi-otonomi, dan tantangan ’carry-over’ yang belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya). Semasa kampanye, program bidang pendidikan SBY-JK sendiri, (Permatasari & Wisudo, Kompas, 23-11-2004) ada enam:

Meningkatkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan akses yang lebih besar kelompok yang ’tertinggal’,
Meningkatkan pendidikan ketrampilan dan kewirausahaan/non-formal yang bermutu,
Meningkat penyediaan dan pemerataan sarana-prasrana dan tenaga pendidik,
Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik,
Menyempurnakan manajemen dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan mutu, dan
Meningkatkan kualitas kurikulum dan pelaksanaannya untuk membentuk watak dan kecakapan hidup.
Sepuluh RPP Sisdiknas selesai disusun. RPP usia dini, pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan non-formal dan informal, jarak jauh, pendidikan kedinasan, tenaga kependidikan, standar nasional, pendidikan kejuruan, vokational dan profesi, dan RPP peran serta masyarakat. Hampir diselesaikan RPP pendidikan agama dan badan hukum pendidikan (Media Indonesia, 14-1-2005). RPP yang mendesak di tahun 2005 untuk diterbitkan menjadi PP adalah RPP Wajib Belajar 9 Tahun, RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah dan RPP tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan (Kompas, 23-02-2005).

Namun demikian, setelah lebih dari setahun pemerintahan SBY-JK, artikulasi kebijakan Depdiknas setidak-tidaknya yang termanifestasikan permukaannya di media dan terrasakan di beberapa lokasi penelitian terlihat melanjutkan supaya pemerintahan sebelumnya, yang menghubungkan empat hal sekaligus: orientasi pendidikan yang baru, tata pemerintahan dan manajemen (pendidikan) baru yang bergerak ke arah desentralisasi, keterbatasan keuangan negara akibat kurang-lebih sepertiga APBN untuk melunasi hutang (Baswir, Kompas 10-5-2005), di samping merealisasikan secara bertahap tuntutan Konstitusi yaitu alokasi APBN/D 20 persen (tahun 2009) untuk sektor pendidikan terutama untuk program wajib belajar 9 tahun.

Secara praktis, manifestasi artikulasi kebijakan itu berbentuk rajutan politik (political crafting) atas peluang dan kendala orientasi, konstitusi, sistem makro, anggaran, dan perhitungan atas resiko yang diantisipasi dari resistensi birokrasi, legislatif dan publik yang dapat muncul. Dengan kata lain pemerintah mencoba merajut kebijakan yang layak (etis) menurut orientasi (filsafat dan konstitusi) pendidikannya dan penyelenggaraannya laik secara tehnokratis birokrasi dan politik publik. Bentuknya yang paling jelas adalah (kesibukan) meneruskan penataan ulang kelembagaan yang bersifat governance, yang pada gilirannya menuntut perubahan manajemen serta restrukturisasi anggaran maupun sumber-sumbernya. Secara ringkas kesibukan itu lebih difokuskan pada upaya membangun governance dan manajemen pendidikan, di atas fondasi tata-pemerintahan yang desentralistik yang sedang dibangun dan orientasi dan tuntutan pendanaan yang ’baru’ untuk pendidikan, terutama untuk Wajib Belajar 9 Tahun. Dengan kata lain pemerintah selama setahun sibuk dengan penataan sistem, in-put terutama anggaran dan –sebagaian-- proses, (kelembagaan governance, sistem manajemen dan anggaran). Masalah in-put lain yang sangat penting, seperti bagaimana kurikulum, pola pikir guru dan metode pembelajaran harus berubah sesuai dengan tuntutan struktural dan kultural yang baru (agar lebih demokratis dan mencerdaskan), belum banyak disentuh. Alih-alih masalah out-put dan efisiensi eksternal (seperti seberapa relevan peningkatan cakupan dan kualitas pendidikan dengan pengembangan demokrasi dan ekonomi), seakan-akan menjadi hilang dari perhatian. Dengan kata lain kebijakan pemerintah lebih tersita perhatiannya untuk perbaikan konteks pembelajaran dan (agak?) melupakan teks (isi) yang harus diajarkan. Bila masalah isi ini terlalu lama dilupakan maka akan menjadi ’bom waktu’ di kemudian hari.

Kebijakan yang menonjol pada tahun pertama ini adalah menata ulang lembaga Depdiknas (misalnya dengan memecah Dirjen Dikdasmen menjadi dua) dan mengefektifkan lembaga-lembaga di bawahnya, (termasuk lembaga governance-nya yang berada di masyarakat) agar memungkinkan pengembangan --bukan projek, melainkan terutama—program-program yang bersifat transisional dari sentralisme ke desentralisasi, re-strukturasi anggaran dengan cara mencoba memobilisasi dana dari bawah (masyarakat) dengan memanfaatkan polical leverage yang tersedia. Enam agenda 100 Hari Mendiknas, juga berada dalam koridor itu . Boleh dikatakan, kebijakan yang harus dan telah diambil adalah ’structural adjustment’. Pilihan structural adjustment ini dibayangi oleh resistensi tiga pihak: pihak yang merasa orientasi pendidikannya tidak diakomodasi, pihak yang terkurangi ruang sosial-ekonomi dan politiknya akibat desentralisasi-otonomisasi, dan pihak yang secara manajerial (terutama akibat re-strukturasi sumber dan penyaluran anggaran yang menyertainya) merasa dirugikan.
0 Responses

Posting Komentar

abcs